Islam tidak pernah
memaksakan seseorang dan tidak pula disebarkan lewat tajamnya pedang,
sebagaimana yang diklaim oleh musuh-musuh Islam. Islam mensyariatkan perang,
untuk menyingkirkan thaghut-thaghut yang menghalangi jalan dakwah ke rakyat dan
penduduk. Setelah thaghut-thaghut ini disingkirkan dan dakwah Islam
dikumandangkan, permasalahannya terserah kepada rakyat, apakah mereka mau
menerima Islam, ataukah tetap pada agamanya sendiri, tapi ia harus tunduk
sebagai ahlu dzimmah.
Tendensi dakwah Islam semacam ini dikuatkan dengan perkataan Rab’i bin ‘Amir di
hadapan Rustum, pemimpin pasukan Persia, “Kami diutus Allah untuk mengeluarkan
manusia dari penyembahan makhluk ke penyembahan Allah, dari dunia yang sempit
ke dunia yang lapang dan dari kesewenangan agama ke keadilan Islam.”
Mengenai jizyah yang harus disetorkan oleh ahli dzimmah, bukan dimaksud untuk
memberi penekanan-penekanan tertentu agar mereka mau masuk Islam, sekali-kali
tidak, jizyah itu sebagai pengganti dari tanggung jawab dan jerih payah
orang-orang Islam untuk melindungi mereka.
Kebebasan yang diberikan kepada orang-orang yang ditundukkan kaum Muslimin
untuk memilih masuk Islam ataukah membayar jizyah, merupakan bukti yang kuat,
jelas dan gamblang bahwa Islam melarang mengetrapkan kultur paksaan.
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam),
sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang salah.”
(Al-Baqarah: 256).
Orang-orang yang membayar jizyah kepada pemerintah Islam dinamakan ahlu
dzimmah. Mereka berhak menerima hak dan jaminan seperti yang diterima oleh
orang-orang Islam. Salah seorang gubernur pada zaman Khalifah Umar bin Abdul
Aziz menulis surat kepada beliau yang isinya menerangkan bahwa ahli dzimmah
yang baru masuk Islam justru lebih berbahaya kalau seandainya mereka tidak
dibebani jizyah. Maka dengan dasar pikiran semacam ini, ia tetap menarik jizyah
meskipun ada ahli dzimmah yang sudah masuk Islam.
Setelah membaca surat tersebut, Khalifah Umar bin Abdul Aziz segera mengirim
surat yang isinya: “Allah memburukkan pendapatmu itu. Karena sesungguhnya Allah
tidak mengutus Muhammad Shallallahu Alaihi wa Salam sebagai pemungut pajak.
Tapi beliau diutus untuk memberi hidayah. Apabila suratku ini telah kau baca
maka segera batalkan jizyah itu bagi ahlu dzimmah yang telah masuk Islam.”
Abu Yusuf menyebutkan dalam bukunya bahwa Umar bin Khathab bertemu dengan
seorang tua ahlu dzimmah peminta-minta di pintu masjid untuk membayar jizyah,
demi kebutuhannya, Umar berkata kepada orang tua itu, “Kami akan berbuat adil
terhadapmu, kami bebaskan setelah kamu tua.” Kemudian Umar membawa orang
tersebut ke Baitulmal, lalu diberinya kebutuhan secukupnya dan ia dibebaskan
dari pembayaran jizyah. Lebih lanjut hal ini dikuatkan lagi dengan
pengakuan-pengakuan beberapa orang yang pernah mempelajari Islam secara benar.
Dalam bukunya “Dakwah kepada Islam”, Arnold Toynbe seorang guru besar berkata, “Setelah pasukan
tentara Islam yang dipimpin Abu Ubaidah sampai di lembah Urdun, para penduduk
yang beragama Kristen yang menetap di situ menulis surat yang ditujukan kepada
orang-orang Arab yang beragama Islam itu, yang berbunyi: ‘Wahai semua orang
Islam, kalian lebih kami cintai daripada orang-orang Romawi, meskipun mereka
seagama dengan kami. Kalian lebih menepati janji, bersikap lemah-lembut kepada
kami, mencegah kesewenangan yang menimpa kami dan mau menjaga diri kami. Tapi
orang-orang Romawi itu menindas kami dan bumi kami.’
Para penduduk kota saling menutup pintu masuk agar tentara Heraclius tidak
menjarah. Mereka menyampaikan kabar kepada orang-orang Islam bahwa
mereka lebih senang dengan orang-orang Islam dan keadilan mereka daripada
kesewenang-wenangan orang-orang Greek itu. Segala pikiran dan tuduhan bahwa
peranan pedanglah yang telah mengubah manusia masuk Islam, jelas merupakan
tuduhan yang jauh dari benar. Dakwah dan pemuasan merupakan dua faktor esensial
tersebarnya dakwah Islam, dan bukan karena kekuatan dan kekerasan.”
Crustav Loban juga mengeluarkan kata-kata yang sangat terkenal, “Sejarah manusia
tidak mengenal penakluk yang adil dan lebih lemah lembut kecuali dari
orang-orang Islam.” Itulah sebagian kecil hak-hak yang telah
diberikan kepada ahli kitab Yahudi dan Nasrani yang hidup di bawah perlindungan
Negara Islam. Suatu hak yang tidak akan didapati dalam agama samawi lain, atau
undang-undang dan tatanan yang dibuat oleh manusia sepanjang zaman.